RUU Cipta Kerja Diyakini Bisa Percepat Arus Investasi dan Implementasi 5G

Rancangan Undang Undang Cipta Kerja hingga kini masih digodok di DPR. Meski sebagian masyarakat menolak, kehadiran RUU ini diharapkan menjadikan Indonesia salah satu dari 5 negara maju dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia pada tahun 2045 mendatang. Mira Tayyiba, Staf Ahli Bidang Transformasi Digital, Kreativitas, dan Sumber Daya Manusia Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dalam diskusi Webinar yang diselenggarakan Sobat Cyber baru baru ini mengatakan, dengan RUU Cipta Kerja diharapkan pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai 5,7 hingga 6 persen.

Dengan RUU Cipta Kerja, penciptaan lapangan pekerjaan juga bisa meningkat (2,7 3 juta pertahun). Hal positif lainnya dari RUU Cipta Kerja adalah potensi peningkatan investasi (6,6% 7%) dan peningkatan produktifitas yang diikuti peningkatan upah. Dia mengatakan, jika RUU Cipta Kerja ini tidak dilakukan maka lapangan pekerjaan akan pindah ke negara lain yang lebih kompetitif.

"Penduduk yang tidak bekerja akan semakin tinggi dan Indonesia akan terus berada dalam jebakan negara berpendapatan menengah. Diharapkan dengan RUU Cipta Kerja dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi Indonesia,” ujarnya. Dalam RUU Cipta Kerja ada 79 Undang Undang (UU) dan 1200 pasal yang akan terdampak. Ada 12 UU yang langsung berdampak kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Salah satunya adalah UU Telekomunikasi. Mira menjelaskan dalam RUU Cipta Kerja yang bersinggungan dengan sektor telekomunikasi, penyediaan dan pemerataan infrastruktur digital sangatlah penting.

Ini disebabkan pemerintah melaksanakan UUD 1945 Pasal 28F sehingga infrastruktur telekomunikasi harus bisa menjadi enabler dalam melaksanakan amanah konstitusi. Selain itu pentingnya RUU Cipta Kerja adalah untuk mendukung transformasi ekonomi (RPJM 2020 – 2024), mengantisipasi trend pertumbuhan trafik data dan merealisasikan ekonomi digital Indonesia. “Namun yang tak kalah penting adalah pemerataan infrastruktur digital harus mendukung produktivitas masyarakat seperti pada masa pandemi Covid 19.

Pasca pandemi pun Indonesia masih menggantungkan kepada infrastrktur digital. Jadi kehadiran dan pemerataan infrastrktur digital mutlak dibutuhkan,” ujar Mira. Tantangan RUU Cipta Kerja terkait sektor telekomunikasi menurut Mira adalah CAPEX dan OPEX yang tinggi. Padahal pendapatan cenderung flat dan teknologi baru seperti penggunaan 5G sudah di depan mata. Tantangan lainnya yang perlu dibahas dalam RUU Cipta Kerja adalah pemanfaatan spektrum radio secara optimal.

Saat ini ada beberapa isu sektor telekomunikasi yang tidak tercakup di dalam UU Telekomunikasi. Beberapa isu tersebut seperti pencabutan perizinan berusaha atau persetujuan atas penggunaan spektrum frekuensi dalam hal penggunaan tidak optimal sedangkan di sisi lain terdapat kepentingan umum yang lebih besar. Isu lainnya adalah kerja sama penggunaan spektrum frekuensi radio untuk mendukung 5G antara operator telekomunikasi setelah mendapatkan persetujuan pemerintah. Selain itu Mira juga melihat belum adanya aturan pengalihan penggunaan spektrum radio dari teknologi televisi analog ke televisi digital.

“Dengan memperhatikan urgensinya dan mengingat substansi tersebut belum ada dalam UU 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi maka pemerintah memandang perlu memasukan substansi infrastructure sharing dalam RUU Cipta Kerja,” terang Mira. Ketua Bidang Infokom DPP KNPI Muhammad Ikhsan menilai untuk mengatasi permasalahan di industri telekomunikasi dan pemerataan layanan telekomunikasi di seluruh Indonesia, solusi yang paling urgen bukanlah RUU Cipta Kerja namun revisi PP 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan PP 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit (PP 52/53). Ikhsan dengan tegas menyatakan bahwa proses RUU Cipta Kerja masih Panjang sehingga kita perlu fokus ke revisi PP 52/53. “Kita melihatnya seperti itu. Revisi PP 52/53 sekarang. Jika ada perubahan maka nanti kita bicarakan di Omnibus Law. Omnibus Law ini masih panjang,” tegas Ikhsan.

Indra Maulana, Kepala Bagian Hukum dan Kerjasama Ditjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Kominfo, menyatakan,Kementerian Kominfo sebenarnya pernah mengusulkan revisi PP 52/53 dan dibahas lintas Kementerian, namun belum bisa diselesaikan. Permasalahan network sharing ini meliputi banyak aspek. Tidak hanya bisnis dan teknis saja, tetapi juga menyangkut aspek hukum. Jika dilihat dari hierarki peraturan perundang undangan, melakukan revisi di sisi UU jelas akan memiliki dampak lebih luas dan prinsip dibandingkan dengan revisi PP yang tingkatannya berada di bawah UU.

Sebaliknya, revisi PP tidak dapat keluar dari koridor pengaturan yang telah ditetapkan oleh UU diatasnya. “Kominfo menganggap dengan adanya RUU Cipta Kerja ini maka pembahasan mengenai revisi PP 52/53 sudah tak diperlukan lagi. RUU Cipta Kerja bahkan lebih hebat dari PP 52/53. Jadi kita fokus di RUU Cipta Kerja saja. Kalau membahas revisi PP 52/53 justru kita malah mundur dan energi terbuang,” ujar Indra.

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *